Sabtu, 17 Januari 2015

WONG JOWO OJO ILANG JOWONE.

APA sebenarnya kekayaan orang Jawa?
Rukun dan urmat! Rukun terhadap dirinya
sendiri, dan rukun terhadap orang lain.
Hormat terhadap diri sendiri, dan terhadap
orang lain. Rukun terhadap diri sendiri
diartikan sebagai tahu diri, bisa rumangsa,
bisa menempatkan diri. Dan, rukun terhadap
orang lain sesungguhnya bisa diartikan
sebagai kemampuan menahan diri dan
merupakan bentuk penghormatan terhadap
liyan agar tidak timbul konflik.
Hormat terhadap diri sendiri bisa diartikan
sebagai kemampuan menjaga diri secara fisik,
mental, intelektual dan spiritual yang
ditunjukkan dalam sikap hati.
Ketidakmampuan menghormati diri sendiri,
besar kemungkinan tidak bisa mengormati
orang lain. Karena itu, menghormati diri
sendiri, tidak diartikan sebagai
menempatkan diri di atas orang lain. Justru
sebaliknya, menghormati diri sendiri itu
diekspresikan dalam bentuk rendah hati.
Adapun rukun terhadap orang lain, lebih
memberikan ruang lebih luas untuk
menghormati orang lain dengan segala
keberadaannya. Tepa slira!
Pertanyaannya adalah, apakah dua hal
tersebut masih ada dalam diri orang Jawa?
Rasanya sangat melemah. Rukun, tidak
mudah lagi ditemukan dalam banyak format
pergaulan. Dalam berbangsa dan bernegara,
di mana kita melihat kerukunan? Hanya pada
saat ada kepentingan yang sangat
mengaitkan. Jika tidak, maka keadaan sudah
berpindah ke suasana kamu dan saya memang
berbeda, termasuk berbeda kepentingan.
Rukun terhadap diri sendiri? Adakah
kemampuan yang kuat pada diri setiap
individu mencoba bertahan dengan kata
hatinya, bukan nafsunya. Korupsi adalah
bentuk paling mencolok dari individu yang
tidak bisa rukun dan hormat terhadap diri
sendiri.
Ketika Jawa sudah tidak lagi punya dua hal
itu, rukun dan hormat, sebenarnya suku ini
sudah habis secara budaya. Peradaban telah
mati. Kini muncul peradaban lain yang
sedang mencari bentuk, yang barangkali
ramuan dari berbagai budaya. Mau berunjuk
rukun adalah sikap hati, sehingga jika yang
ini tidak ada lagi maka orang jawa sudah
kehilangan hatinya? Sama hal ketika orang
Jawa tidak lagi hormat terhadap
keberadaan liyan, maka peradaban itu telah
sirna. Kenapa? Karena, dengan memiliki
sikap hormat terhadap diri sendiri dan orang
lain, maka akan muncul kerukunan.
Solusinya, orang Jawa harus mengenali
kembali keberadaannya, dengan
menempatkan rukun dan hormat itu sebagai
sikap moral. Dua hal ini sebenarnya
merupakan tiang peradaban. Karena itu jika
tidak lagi dimiliki maka Jawa sebenarnya
sudah habis secara budaya. Dan, semua
produk yang masih dinikmati sekarang
adalah produk masa lalu. Orang Jawa
sekarang tidak lagi memiliki peradaban,
apalagi memproduksi kebudayaan. Untuk bisa
memproduksi harus memiliki peradaban.
Lalu harus dimulai dari mana? Ada tiga
ruang besar yang masing-masing bisa
memberikan kontribusi. Ruang pertama, tentu
ruang yang disebut rumah. Prinsip rukun dan
hormat harus mewarnai setiap rumah orang
Jawa. Ada “unggah-ungguh” di masing-
masing posisi, baik sebagai orang tua, anak,
saudara, dan pembantu di dalam rumah.
Sekarang ini, jika Anda mengaku orang Jawa,
masih adakah tata krama yang dijaga penuh
disiplin? Saya tidak yakin itu masih.
Kedua, ruang besar yang disebut sekolah.
Hubungan tradisional antara guru-murid
sama-sama lahir dari peradaban Jawa yang
sudah berubah. Relasi antara mereka sudah
berada di dalam tata krama yang berbeda,
sehingga sudah sangat cair dan egaliter.
Relasi seperti ini tentu belum sepenuhnya
diterima, tetapi juga tidak ditolak.
Barangkali, penerimaan peradaban baru
masih setengah hati dan mencari bentuk.
Ketiga, ruang besar di lingkungan
masyarakat. Perilaku baik yang seperti apa
yang bisa ditimba dari lingkungan
masyarakat sekarang ini. Apakah kita bisa
menimba perilaku yang konon sangat disiplin
dari polisi di jalanan, jaksa dan hakim di
pengadilan? Apakah kita masih bisa menimba
perilaku yang santun dari semua kiai, pendeta
dan guru agama? Ataukah kita masih bisa
menimba pembela kepentingan rakyat dari
para politikus, dan lain-lain?

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Lha iyo kudune wong jowo iku iso saling ngugemi budoyone .koyo wong chino ake arepo adoh seko negoro asline tetep ngugemi budoyo nenek moyange ...lha sing wis ora lahir neng chino wae tetep ngurmati budoyo lan boso negoro asal. Semono ugo wong jowo kudi koyo kuwi.

Unknown mengatakan...

Inggih pak..kawulo seneng bangetbangetv